
Dalam empat tahun terakhir, dunia menyaksikan kembalinya perang senjata ditengah kehidupan yang berkembang menuju era lebih modern . Kali ini konflik dinilai bisa lebih berbahaya, karena banyak negara kini mulai berlomba-lomba memodernisasi angkatan bersenjata mereka dan terlebih lagi dunia sedang dalam bayang-bayang senjata nuklir.
Diplomasi yang seharusnya menjadi alat utama dalam menyelesaikan konflik, justru kini senjata peranglah yang berbicara. Dunia telah menyaksikan berbagai konflik yang mengubah jalannya geopolitik pada hari ini, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, agresi Israel ke Palestina, konflik Israel – Iran, konflik selat Taiwan, hingga ketegangan di Laut Cina Selatan.
Invasi Rusia ke Ukraina
Titik balik dari berubahnya situasi geopolitik dunia dimulai sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, invasi ini telah menjadi panggung konfrontasi antara blok barat yang mendukung Ukraina dan Rusia yang merasa terancam dengan ekspansi NATO ke Eropa Timur. Berbagai kesepakatan telah sempat dihadirkan untuk meredakan eskalasi, seperti melalui Black Sea Grain Deal dengan melibatkan Rusia, Ukraina, Turki dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta yang terbaru adalah Kesepakatan Mineral dengan AS. Namun kesepakatan-kesepakatan yang telah diinisiasi tersebut, sampai saat ini tidak dapat menghentikan konflik dan terus menelan korban terutama dari kalangan tentara.
Gejolak Timur Tengah
Di Timur Tengah eskalasi konflik juga semakin meningkat sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang kemudian direspon oleh Israel dengan penyerangan besar-besaran ke Gaza. Publik dunia telah menyaksikan kehancuran kota-kota, korban sipil terutamanya anak-anak dalam jumlah besar, dan krisis kemanusiaan di Palestina. Banyak cara telah dilakukan untuk meredam konflik ini diantaranya dengan usulan gencatan senjata dan melalui Two State Solution, namun tetap saja usaha tersebut belum bisa menghentikan konflik yang terus semakin banyak menelan korban sipil dan anak-anak di Palestina.
Dalam perkembangan yang lebih luas, Israel juga bersitegang dengan Lebanon, Yaman, dan yang cukup menjadi sorotan adalah konflik dengan Iran. Ketegangan dengan Iran dipicu oleh kecurigaan Israel akan pengembangan program nuklir Iran, serta dukungan Teheran kepada proksi-proksi milisi, dan berujung pada saling tembak menggunakan rudal. Puncak konflik ini semakin meruncing ketika terbunuhnya pemimpin politik Hamas yakni Ismail Haniyeh yang tewas akibat serangan drone Israel di Teheran, Iran. Terbaru konflik ini kembali meruncing setelah Israel menyerang Iran pada 13 Juni 2025, dengan menargetkan fasilitas nuklir, dan menewaskan sejumlah jendral Iran. Sebagai respon, Iran juga meluncurkan serangan kepada Israel di sejumlah kota termasuk Tel Aviv.
Ketegangan Selat Taiwan
Sementara di Asia Timur, ketegangan antara China dan Taiwan terus meningkat. Setelah kunjungan ketua DPR AS Nancy Pelosi, pada Selasa 2 Agustus 2022. Hal ini memicu kemarahan Beijing yang merespons dengan mengirimkan 21 jet tempur keatas teritorial udara Taiwan, memberikan sanksi kepada Nancy beserta keluarganya, dan china juga merespons dengan menggelar latihan militer di perairan selat Taiwan. Negara yang selama ini mendapatkan perlindungan secara tak langsung dari AS, dilihat telah memperkuat kerja sama militernya dalam menghadapi kemungkinan invasi. Ketegangan ini bukan hanya soal kedaulatan, tapi menyangkut tentang dominasi di kawasan strategis Indo-Pasifik yang melibatkan kekuatan global.
Konflik Laut China Selatan
Konflik Laut China Selatan juga tak kalah pelik. China terus memperluas klaim teritorialnya yakni Nine Dash Line, dengan membangun beberapa pangkalan milter diatas pulau buatan dan mengerahkan angkatan bersenjata mereka di wilayah LCS. Dalam hal ini negara-negara ASEAN yang berbatasan dengan LCS yakni Filipina, Vietnam, Brunei, Malaysia, Singapura, Indonesia telah memprotes keras tindakan klaim sepihak ini. Ketegangan ini sering sekali terjadi, terbaru kapal pantai China menyemprotkan air dan menabrak kapal peneliti Filipina pada Rabu 22 Mei 2025 di dekat perairan Sandy Cay, Laut China Selatan. Hingga kini, upaya seperti melalui Code of Conduct (CoC) yang telah disepakati masih belum bisa menstabilkan kondisi di kawasan.
Kondisi geopolitik di era multipolar ini, di mana negara-negara adidaya memainkan catur kekuasaan dengan mengabaikan aturan yang disepakati sejak lama. Perjanjian damai, resolusi PBB, hingga hukum laut internasional, rasanya sudah tak ada gigi dalam menghadapi logika kekuasaan dan ancaman militer. Diplomasi masih hidup, tapi ia berjalan tertatih-tatih di bawah bayangan senjata perang. Dunia tak kekurangan pertemuan ataupun forum diskusi, tetapi yang kurang adalah tindakan nyata, komitmen politik dan keberanian moral untuk memprioritaskan perdamaian dan kemanusiaan di atas segalanya.
Diplomasi tak boleh mati. Sebab ketika diplomasi berhenti, maka senjata akan berbicara dan tak akan ada yang pernah benar-benar menang di medan perang.